Sabtu, 21 Februari 2015

Nuclear Power Plant


Pembangkit listrik tenaga nuklir (Nuclear Power Plant) sepertinya menjadi sebuah jawaban bagi sebuah negara yang membutuhkan begitu banyak energi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup bagi rakyatnya. Begitupula dengan negara kita Indonesia, begitu haus akan kebutuhan energi listrik. Namun apakah Indonesia cocok untuk resource energy yang seperti ini?
Kembali pada masa kuliah, saya adalah seorang sarjana teknik elektro karbitan lulusan UK Petra. Apa yang menjadi ketertarikan/keterpaksaan memilih penjurusan saya waktu itu adalah Teknik Elektro Electrical Power System(Arus Kuat). Nah apa sih yang menjadi hubungan masa kuliah saya ini dengan Nuklir Power Plant?  Saat masih giat berkuliah.. saya dipercaya untuk menjadi asisten, sesekali diajak oleh mahasiswa tingkat akhir untuk menemani meninjau object penelitian yang akan dijadikan referensi. Nah saat itu sempat sekali seorang mahasiswa senior mengajak saya untuk berjalan di object penelitian yakni Pembangkit Listrik Tenaga (PLTU) Paiton yang terletak di Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo bersama dengan seorang dosen pembimbing Bapak Limboto Limantarna & Rekan kerja beliau yang pernah mengerjakan otomasi sinkronisasi. Nah apa yang menjadi kesan saya waktu itu?
Pembangkit Paiton merupakan salah satu "Member" dari unit-unit PowerPlant yang berada di Pulau Jawa. Artinya bahwa untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik Jawa-Bali maka beberapa Power Plant digabungkan menjadi satu sehingga dapat memenuhi kebutuhan energi listrik Jawa Bali. Dalam proses pengabungan ini atau dalam istilah kelistrikan disebut dengan "Sinkronisasi" dibutuhkan beberapa syarat yakni:
Tegangan Yang Sama/Amplitude Tegangan Sama
Frequensi Sama
Fase-Fase Tegangan Sama
Sudut Fase Yang Sama
Untuk lebih jelasnya silahkan google karena memang sudah banyak yang lupa mengenai teorikal beberapa hal diatas. Nah untuk melakukan sinkronisasi untuk load sharing ini dibutuhkan waktu untuk penyesuaian beberapa hal yang telah disebutkan dan dapat dilakukan dengan cara automatic maupun manual, untuk pembangkit sekelas Paiton tentu saja harusnya automatic. Nah... yang menarik saat itu adalah waktu proses sinkronisasi yang sangat lama, dibutuhkan waktu kisaran 30 menit. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan saya waktu itu, apakah memang diperlukan waktu begitu lama untuk menggabungkan pembangkitan Jawa Bali ini? Kebetulan waktu itu rekan kerja Bp Limboto yang pernah mengerjakan otomatisasi ini menjelaskan bahwa waktu yg dibutuhkan untuk sinkronisasi seharusnya tidak lebih dari 5 menit. Andaipun harus manual tentu saja tidak boleh terlalu lama karena hal ini sangat berpengaruh terhadap banyaknya bahan bakar yang harus dibakar untuk menggerakkan turbine. Untuk waktu 30 menit... beberapa unit Paiton berapa banyak bahan bakar terbuang percuma? Apakah salah sistemkan atau manusia? Penjelasan kembali saya dapatkan bahwa pada saat pelatihan pengoperasian PLTU Paiton lebih banyak mereka yang titip absen dibandingkan yang ikut. Waduh...
Nah semoga penjelasan dari orang yg pernah mengerjakan proyek PLTU Paiton ini salah..  namun tentu saja tetap salah karena dengan begini kerugian tentu akan dirasakan oleh pengguna yang dibebankan biaya 30 menit bahan bakar yg terbakar percuma.  Faktor kedisiplinan seorang karyawan menjadi faktor utama sebuah teknologi,  bukan menjadi rahasia umum kalau kedisiplinan kita masih sangat kurang.
Nah kembali ke pokok masalah. Apakah Kita Sudah Layak Menggunakan Teknologi Nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi listrik kita? Satu hal yang saya khawatirkan.. Kalau baru-baru ini Jepang mengalami tragedi dengan meledaknya reaktor nuklir karena kegagalan sistem pendingin karena adanya Gempa & Tsunami yang begitu dasyat, maka Indonesia mungkin tanpa harus ada gempa dan tsunami tuh reaktor bisa bocor atau meledak karena kurang disiplinnya pegawai.
Nah akhir kata:
Kita begitu kaya dengan sumber daya... Laut salah satunya. Cari teknologi yg aman bagi rakyat dengan menggunakan sumber daya yang ada dan yang aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar