Seorang tukang kayu datang terlambat pagi hari ini. Ia harus
memandikan dulu anaknya yang rewel. Namun sebagai akibatnya ia harus kehilangan
biaya transportnya hari itu karena ia sudah terlambat 30 menit. Saat bekerjapun
gergaji mesinnya rusak , maka saat itu ia hanya bekerja setengah hari saja.
Saat akan kembali pulangpun mobil tuannya mogok, melihat kejadian demi
kejadian, sang majikan berinisiatif mengantarkannya pulang. Sepanjang
perjalanan si tukang kayu memasang wajah sedih dan lesu. Wajahnya tersebut
tetap dipertahankan hingga didepan rumah. Namun, Sebelum masuk perkarangan
rumah ia duduk berjongkok menghadap ke sebatang pohon kecil diperkarangan
rumahnya. Ia memegang sambil memejamkan mata, mulutnya kumat-kamit mengucap
sesuatu. Dan ajaibnya setelah apa yang dia lakukan ia menjadi orang yang
berbeda. Senyumnya mengembang, wajahnya cerah meski di penuhi oli. Dan lebih
bersemangat, seakan rangkaian masalah yang baru saja dialaminya menjadi hilang.
Ia menyalamiku dengan mantab, dengan kata-kata yang positif mengajakku masuk
kedalam rumahnya yang sederhana namun bersahaja. Saat pintu dibukakan, anaknya
menyambutnya dengan pelukan dan ciuman hangat. “sungguh kedamaian di dalam
surga dunia” pikir sang majikan. Saat sang majikan hendak pulang, si tukang kayu
mengantarnya sampai kedepan rumah. Dan kembali melewati pohon ajaib si tukang
kayu tadi. Merasa penasaran sang majikan menanyakan perihal pohon kecil yang
ada diperkarangan tukang kayu. “Itu adalah pohon masalah, setiap ada masalah
selalu aku gantungkan dulu ke pohon ini. Agar masalah itu tidak berakibat buruk
pada istri dan anakku. Aku berencana mengambilnya esok hari. Tetapi anehnya
saat hendak diambil masalahnya semakin berkurang atau bahkan hilang dicuri
orang. Merenung. Pernahkah kita merenung? Renungan biasanya dilakukan ketika
hati sedang diliputi kebahagiaan di suasana yang tenang. Maka tak ayal hal-hal
yang menyenangkan saja yang akan ada dalam renungan kita. Pernahkan kita
merenung ketika diterpa masalah. Saat gelombang ujian bergulung-gulung menerjang
kita. Padahal seharusnya saat itulah kita merenung. Untuk mendapatkan jawaban
atas masalah yang meninmpa kita. Saya terkesima dengan kebiasaan karib saya
saat menjawab pertanyaan wawancara. Saat itu saya sebagai penguji menyakan
beberapa pertanyaan untuk pemilihan ketua SEMA. Yang menarik adalah setelah
selesai mendengar pertanyaan beliau selalu berkata, “Boleh saya berfikir 2
menit?” dan setelah dua menit dia memberikan jawaban yang luar biasa. Hal
semacam ini jarang dilakukan oleh kebanyakan orang. Dan hamper keseluruhan
peserta yang di seleksi mereka memberikan jawaban langsung. Berhentilah
sejanak. Atur nafas panjang untuk melanjutkan perjalanan yang jauh lebih
panjang. Dalam perjalanan hidup seseorang hidup dan dibesarkan dari sedikit
banyaknya masalah yang diselesaikan. Maka kita perlu waktu berfikir jernih agar
Nampak solusi yang nyata dari masalah kita. Penyelesaian masalah itu seperti
air dalam kubangan. Jika terlalu banyak gerakan maka tidak akan terlihat isi
didalam kubangan, namun jika air tenang maka akan jelas apa saja yang ada dalam
kubangan. Dalam islam kita mengenal sholat sebagai media renungan. Sebagai
media persingggahan dalam perjalanan panjang yang melelahkan. Tempat untuk
meletakan hati menyerahkan kembali masalah kepada pemiliknya. Meminta jalan
petunjuk untuk keluar dengan cara-Nya. Maka shalat adalah tiang agama. Karena
kita telah melalui jalan agama. Kebaikan-kebaikan yang dihasilkan adalah produk
dari pendidikan akhlak. Maka agama tidak dapat dipisahkan dari segi apapun jika
menginginkan kehidupan yang ideal. Jika sekarang kita berfikir Sholat adalah
beban dari kewajiban seseorang yang beragama, maka ada yang salah dengan
kehidupan beragama kita. Kita belum membuka mata dengan keajaiban-keajaiban
agama, kita temakan oleh hasutan-hasutan dunia yang memang melenakan.
Hasutan dunia yang memang fana, Nampak ada namun sebenarnya tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar