Bersaudara tak mesti sedarah…
Bersaudara tak harus serumah…
Bersaudara bukan soal daerah…
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah…
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah…
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah…
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
”sebuas-buasnya harimau tak akan makan anak sendiri.”
mungkin kita sudah tidak asing dengan pepatah di atas. Sang raja hutan
yang terkenal buas yakni harimau tidak akan memakan anaknya sendiri,
bahkan dia akan rela mati-matian untuk melindungi anaknya sendiri. Hal
ini seolah menunjukan betapa kuatnya ikatan biologis dari harimau dan
anaknya tersebut.
Pun demikian hal nya dengan manusia. Kedua orang tua tentu akan
melindungi dan mendidik buah hati mereka agar menjadi manusia yang
berguna bagi manusia sekitarnya. Hal ini karena adanya ikatan yang
mengikat diantara mereka, yakni ikatan darah, atau ikatan biologis.
Namun, ikatan tersebut bukanlah ikatan yang kuat. Bukanlah ikatan
yang sempurna. Bagaimana kita bisa melihat fakta di masyarakat banyaknya
anak yang tidak lagi menurut kepada keyakinan orang tuanya ketika dia
berpindah keyakinan.
Dalam sirah nabawiyah pun kita bisa melihat bagaimana sahabat yang
lebih memilih Islam sebagai aqidah yang mengikat diri mereka, daripada
keluarga, meskipun keluarga mereka sendiri bersumpah akan memutuskan
silaturahim tali keluarga!
Lihatlah bagaimana sosok mus’ab bin umar sang muqarri’ madinah, yang
lebih memilih Islam daripada keluarga nya. Ia rela hijrah ke Madinah,
menjadi duta Rasulullah saw untuk menyampaikan risalah Islam di kota
tersebut.
Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah,
ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda
ganteng yang dikenal sangat perlente. Bila ia menghadiri sebuah
perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum
wanita. Gemerlap pakaiannya dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona.
Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah samasekali.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang
duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi
memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata,
sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat
Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum lagi
hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak
obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau
yang wangi. Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya
dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati,
pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda :
“Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam
memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua
itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Atau kita bisa melihat bagaimana kuatnya ikatan yang mengikat antar
masing-masing sahabat Nabi Muhammad saw. Lihatlah bagaimana meleburnya
sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia
dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa
Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan
kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal
tanah-air dan bahasa. Itulah ukhuwah Islamiyyah yang terpancar dari
ikatan aqidah.
Jagalah Ukhuwah Wahai Para Ikhwah
Namun memang, ada hal yang bisa merusak dan memperlamah ikatan aqidah
itu sendiri yakni hilangnya rasa ukhuwah di antara para ikhwah. Hal ini
bisa karena faktor urusan personal ataupun hal tehnis. Namun sejatinya,
ketika seseorang memahami makna dari sebuah ikatan aqidah itu sendiri
maka sejatinya ia faham bahwa ukhuwah merupakan satu diantara
pilar-pilar yang memperkokoh ikatan aqidah itu sendiri. Terkadang kita
menyaksikan para ikhwah yang saling caci ataupun cerca ketika
berdiskusi, yang tadi nya ingin mencari kebenaran maka beralih untuk
mencari pembenaran akan pendapat masing-masing.
Dalam diskusi tentang dakwah, berdiskusi dengan harokah dakwah lain.
Apakah kita telah berdiskusi secara ahsan? Apakah kita telah berdiskusi
dalam rangka mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran? Apakah diskusi
yang kita lakukan tidak dalam membuka aib lawan diskusi kita karena
telah kalah hujjah? Sebagaimana kata seorang ikhwah :
“ketidakmilikan hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang
tersebut akan akan menyerang dari sisi selain hujjah lawan diskusinya”
Atau tatkala kita membuka aib saudara kita sesama muslim hanya karena faktor ketidaksukaan kita kepadanya. Na’udzubillahi mindzalik.
Ingatlah sabda Nabi kita Muhammad saw: “Siapa yang merasa pernah
berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau
harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya
sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau
dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut
penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka
diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan
kepadanya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a].
Hadist diatas menggambarkan kepada kita, bahwa tatkala kita tidak
meminta maaf kepada orang yang kita rasa pernah kita sakiti,baik secara
fisik maupun non fisik (kata-kata),maka wajiblah kita untuk meminta
maaf. Jika tidak, maka kelak semua amal shalih kita akan diambil untuk
menghilangkan dosa dari menganiaya tersebut sesuai kadarnya, dan jika
kita tidak punya sama sekali amal shalih atau kebaikan, maka kita akan
mendapatkan tambahan kejahatan dari orang yang kita aniaya tersebut,
sehingga semakin membertakan timbangan dosa kita di yaumul mizan kelak,
yakni hari dimana dilakukan pertimbangan amal baik dan buruk.
Semua orang tentu mempunyai aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang
lain tahu akan aib yang dimiliki. Bisa dibayangkan jika orang tersebut
aibnya dibuka oleh orang lain, diceritakan dibelakang dia, atau semisal
ditayangkan di televise sebagaimana hiburan infotainment di TV. Padahal
Allah SWT menyuruh kita untuk menutupi aib saudara kita sendiri.
“Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di
dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat,
barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan
memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib
seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.
Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong
saudaranya. Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka
Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga. Tidaklah suatu kaum
berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan
mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka
ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah memuji
mereka di hadapan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barang siapa
amalnya lambat, maka tidak akan disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya.” (HR Muslim)
Maka, berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat.
Bayangkan bahwa dia adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan
kita yang aibnya di buka ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita
melontarkan perkataan atau kalimat yang itu membuat hati menjadi
tersakiti.
Bagi para hamilud dakwah, berdakwahlah dengan cara yang makruf. Bukan
hanya berusaha menjaga perasaan hati para mad’u kita, namun juga
menjaga perasaan saudara kita walaupun berbeda harokah dakwah.
Berfikirlah sebelum berkata, dan berfikirlah sebelum berbuat.
Dalam sebuah riwayat yangdiketengahkan oleh Imam at-Tirmidzi
dijelaskan bahwa kunci untuk meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan.
Mu’adz ra berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah beritahukan kepada saya amal perbuatan yang
dapat memasukkan saya ke dalam sorga dan menjauhkan dari neraka?” Beliau
bersabda: “Kamu benar-benar menanyakansesuatu yang sangat besar.
Sesungguhnya hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah
SWT, yaitu: Hendaklah kamu menyembah kepada Allah dengan tidak
menyekutukanNya dengan sesuatuapapun, mendirikansholat, membayar zakat,
puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila kamu mampu
menempuh perjalanannya.”
Selanjutnya, beliau bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan
pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah dapat
menghilangkan dosa seperti halnya air memadamkan api, dan sholat
seseorang pada tengah malam.” Beliau lantas membaca ayat yang artinya,
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada
Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, serta mereka menafkahkan
sebagian rizki yang telah Kamiberikan kepada mereka. Seorang pun tidak
mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam
nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.”
Lalu, beliau bertanya kembali, “Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan
tiang dari segala sesuatu dan puncak keluhuran?” Saya berkata, “Baiklah
ya Rasulullah.”
Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya
adalah sholat, dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”
Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”
Beliau lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini.”
Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang
kami katakan?” Beliau bersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia
tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah mereka?” [HR.
at-Tirmidzi].
Mengambil Ibrah Dari Sahabat Rasulullah saw
Dahulu, dua sahabat Rasulullah saw. pernah bertengkar keras. Abu
Dzar al-Ghifari ra. pun sampai kelepasan menyebut Bilal ra. sebagai anak
si hitam. Ketika Rasulullah saw. menegurnya dengan keras, barulah Abu
Dzar ra. menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah
dan minta Bilal ra. menginjak wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya.
Pada akhirnya Bilal ra. tak pernah menginjak wajah saudaranya, dan
cerita itu berakhir dengan bahagia. Hal-hal yang kita anggap konyol,
tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan tidak pantas dilakukan
oleh para aktifis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat
Rasulullah saw. Ingatkah bagaimana Nabi Musa as. dikuasai oleh amarah
kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun as.? Demikianlah
amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwwah yang sudah dibangun
lama menjadi rusak. Efeknya bahkan bisa menjadi permanen bila tidak
segera ditanggulangi.
Sudahkah Anda mendengar kisah pertengkaran dua orang sahabat paling
mulia, yaitu Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra.? Suatu hari Abu Bakar ra.
datang kepada Rasulullah saw. dan langsung duduk merapat dengannya. Ia
bercerita bahwa antara dirinya dan ‘Umar ra. baru saja terjadi
pertengkaran. Ia terlanjur marah dan kemudian menyesal.
Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar ra., maka Abu Bakar ra. pun
mengadu pada Rasulullah saw. Beliau menenangkan Abu Bakar ra. dengan
mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya. Setelah Abu Bakar ra.
pergi, datanglah ‘Umar ra. menemui Rasulullah saw. yang saat itu sedang
menyimpan amarah sehingga nampak jelas pada wajahnya. Beginilah ucapan
Rasulullah saw. saat itu: “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada
kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar
mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia mengorbankan diri dan
hartanya!” Sadarlah ‘Umar ra. akan kesalahannya karena telah
memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai
Rasulullah saw. Setelah itu, Abu Bakar ra. tak pernah disakiti lagi.
“Sesungguhnya orang2 mukmin adalah bersaudara. Oleh karena
itu,damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertaqwalah kpd Allah agar
km mendapat Rahmat.”(T.Q.S Al hujurat 49:10)
Wallahu A’lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar