Rabu, 30 November 2016

Menetapkan Hukum Dengan 'Urf Tujjar



MAKALAH USHUL FIQH

MENETAPKAN HUKUM DENGAN
‘URF TUJJAR DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI ISLAM
PRODI MANAJEMEN PERBAKAN SYARIAH


DISUSUN OLEH :
M. NAUFAL FARASI
M. SYAHIDIN RAIS
RUDIANTO
M. ZEDI ALVI KUMAL

BAB I
PEMBAHASAN
A.    SUBSTANSI ‘URF
a.       Pengertian ‘urf
Kata ‘Urf berasal dari kata ”‘arafa- ya’rifu” sering diartikan dengan “al-ma’ruf” dengan arti “sesuatu yang dikenal “. Pengertian “dikenal” ini lebih  dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata Ur’f juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “Ma’ruf “ yang artinya kebajikan (berbuat baik).
Sebagaimana dalam Qs. Al – A’raf : 199; “Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma’ruf”.
           Diantara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf . Kedua kata tersebut mutaradif (sinonim). Tetapi bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata ‘adat berasal dari  ‘ada-ya’udu (Arab) yang  mengandung arti “perulangan”.
Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Tentang beberapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak ada ukurannya dan tidak banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut.
           Perbedaa antara kedua kata itu, juga dapat dilihat dari segi kandungan  artinya, yaitu : ‘adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik buruknya perbuatan tersebut. Adat lebih ke umum dan Ur’f lebih ke khusus.
            kata Ur’f selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘adat dapat digunakan untuk sebagian orang disamping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah bisa dilakukan (menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai “’adat orang itu”’, namun tidak dapat dikatakan sebagai “’ Ur’f orang itu”.
b.      Macam-macam ‘Urf
Ditinjau dari segi sifatnya, antara lain sebagai berikut.
a)      ‘Urf qauli, yaitu ‘urf yang berupa perkataan seperti, “lahmun” (bahasa) artinya daging,termasuk didalamnya segala macam daging baik binatang darat maupun binatang air (ikan). Tapi, dalam percakapan sehari-hari hanya berarti daging binatang darat saja tidak termasuk didalamnya daging binatang air (ikan).
b)      ‘Urf amali, yaitu ‘urf yang berupa perbuatan. Seperti, jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan akad jual beli. Padahal dalam hokum syara’ hal itu sangat dianjurkan. Tapi, karena telah menjadi kebiasaan atau sama-sama faham, maka syara’ membolehkan.
Ditinjau dari segi diterima atu tidaknya, antara lain sebagai berikut.
a)      ‘Urf shahih, yaitu ‘urf yang dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti halnya dalam pertunangan sebelum nikah. Hal itu dipandang baik dan menjadi kebiasaan masyarakat serta tidak bertentangan dengan syara’.
b)      ‘Urf fasid, yaitu ‘urf yang tidak dapat diterima karena ‘Urf ini bertentangan dengan syara’. Seperti, mengadakan sesajen untuk hal yang dianggap keramat. Hal ini tidak dapat diterima karena jelas-jelas berlawanan dengan ajaran tauhid.
Ditinjau dari segi ruang lingkupnya, antara lain sebagai berikut.
a)      ‘Urf aam, yaitu ‘Urf yang berlaku di suatu tempat, masa dan keadaan. Seperti memberi hadiah kepada orang yang telah memberi jasa kepada kita atau hal lainnya yang telah melakukan suatu yang bernilai positif.
b)      ‘Urf khash, yaitu ‘urf yang berlaku di suatu tempat, masa dan keadaan tertentu. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasanya dilakukan setelah melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan.


B.     KEDUDUKAN ‘URF SEBAGAI DALIL SYARA’
Pada dasarnya, semua ‘ulama menyepakati kedudukan al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, diantara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai dalil. Dalam hal ini, ulama hanafiyah dan malikiyah adalah yang paling banyak menggunakan al-‘urf sebagai dalil, di bandingkan dengan ulama syafi’iyah dan hanabilah.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika ayat-ayat al-qur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa ‘urf al-shakhih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik yang menyangkut ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf al-lafdzi dan ‘urf ‘amali, dapat di jadikan hujjah dalam manetapkan hukum syara’.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’, didasarkan atas argumen-argumen berikut ini.
a.       Firman Allah SWT pada Qs. Al-‘Araf (7) : 199
خذالعفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين 
“ jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
Malalui ayat diatas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf . sedangkan yang di sebut ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan yang di bimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
b.      Ucapan sahabat Rasulullah , abdullah bin mas’ud
فماراه المسلمون حسنا فهو عند الله وماراه المسلمون سيئا فهو عند الله شيئ
“Sesuatu yang di nilai baik oleh kaum muslumin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syari’at islam, adalah juga merupakan sesuatu yamg baik di sisi Allah. Sebaiknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam pada itu, Allah berfirman pada surat al-ma’idah:6
ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم وليتم نعمته ، عليكم لعلكم تشكرون .
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Pada dasarnya, syari’at islam dari masa awal banyak menampung dan mengaku adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan sunnah rosulullah. Kedatangan islam bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat.
Tetapi secara secara selektif ada yang di akui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang di akui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung ( al- mudhorobah). Praktik seperti ini sudah berkembang di kalangan bangsa arab sebelum islam, dan kemudian diakui oleh islam sehingga menjadi hukum islam.

C.     URGENSI ‘URF DALAM MEMAHAMI KITAB TURATS
Kitab turats atau bias disebut dengan kitab kuning merupakan sebuah hasil karya tulis para ulama terdahulu yang dicetak berbentuk buku yang menggunakan kertas berwarna kuning. Memang kitab kuning ini sangat menarik untuk dikaji dalam menggali ilmu agama Islam dan pemikiran para ulama terdahulu. Namun tidak semua orang bisa membaca dan memahami isinya, karena banyak disiplin ilmu yang harus dimiliki dalam memahaminya.
Kontekstualisasi kitab kuning (fiqh) ialah memposisikan kitab kuning dalam situasi dan kondisi serta sosial budaya yang ada pada saat ini. Konsep ini tetap meletakkan teks-teks kitab kuning sebagai suatu kebenaran yang berlaku dalam segala ruang dan waktu. Kontekstualisasi menurut pengertian di atas adalah menyesuaikan teks-teks kitab kuning dalam konteks yang berbeda dengan tetap mempertahankan konsep dasarnya.
Kajian kontekstual terhadap kitab kuning telah dinilai sebagai suatu metode pemahaman yang tepat untuk mengetahui pesan-pesan substantif isi kitab tersebut sesuai dengan tujuan mualifnya. Kitab kuning, yang umumnya merupakan penjabaran dan pemahaman dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Adapun urgensinya antara lain sebagai berikut.
  1. Suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan syakhshiyyah maupun ijtima’iyyah yang melatarbelakangi kehadirannya.
  2. Upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, tetapi mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya.
  3. Proses belajar dan mengajar kitab kuning yang mengacu kepada kegunaan praktis dalam kehidupan masyarakat.
D.    SUBTANSI ‘URF DAN ‘URF TUJJAR
E.     KEDUDUKAN DAN LEGALITAS ‘URF DALAM IJTIHAD
a.       Kedudukan ‘urf dalam ijtihad
urf yang shahih dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi para mujtahid atau para hakim dalam menentukan hukum,dengan alasan bahwa syari’at islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan adat kebiasaan (‘urf) yang berlaku pada masyarakat arab. Ulama malikiyah banyak menetapkan hukum yang berdasrkan kepada perbuatan penduduk madinah,dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’,sedangkan imam syafi’i yang terkenal dengan qaul adin dan qaul jadidnya,itu timbul karena pengalaman imam syafi’i ketika di bagdad yang berbeda dengan adat yang ada dimesir.
Sebaliknya ‘urf yang fasid tidak bisa diterima karena bertentangan dengan nash,seperti kebiasaan orang mekah jika bertawaf tidak berpakaian,atau mengawini ibu sendiri/ibu tiri yang suaminya telah meninggal.
Menurut jumhur ulama mereka mengatakan:
المعروف عرفاكالمشروط شرطاوالثّابت بالعرف كالثّابت بالنّصّ
“apa yang terkenal sebagai ‘urf sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat,dan sesuatu yang tetap karena urf sama dengan yang tetap karena nash”.

Dalam literature yang membahas kehujahan urf atau adat dalam istinbath hokum, hamper selalu yang dibicarakan adalah urf atau adat secara umum. Namun di atas telah dijelaskan bahwa urf yang sudah diterima dan diambil oleh ahli syara’ atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara’. Dengan demikian, pembicaraan tentang kehujahan ‘urf ini sedapat mungkin dibatasi pada bentuk ‘urf yang keempat, baik yang termasuk pada ‘urf yang umum dan yang tetap (yang tidak mungkin mengalami perubahan).
Secara umum ‘urf atau adat itu diamalkan oleh seluruh ulama’ fiqh terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al-‘urf (istihsan yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nahs yang umum
Ulama Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah sebagai dasar menetapkan hokum dan mendahulukannya dari yang hadis ahad.      
Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqh, al-suyuthi mengulasnya dengan mengembalikan kepada kaidanya :

"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."
Alasan para ulama mengenai pengunaan (peneriman) mereka terhadap ‘urf adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam musnadnya
“Apa-apa yang dilihat oleh umat islam sebagai suatu yang baik, makayang demikian di sisi Allah adalah baik.”
Disamping itu adalahpertimbangan kemasslahatan, bahkan banyak orangyang mengalami kesuliatan bila tidak menggunakan ‘urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang disyaratkan”.
“sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti sesuatu yang telah disyaratkan”
Bila hokum telah di tetapkan berdasar kepada ‘urf, maka ketentuanya menyamai hokum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Para ulama mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hokum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf tersebut, yaitu:
1.      Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat ini telah merupakan kezhaliman bagi adat atau ‘urf yang sahih, sebagai diterima secara umum.
2.      Adat atau ‘urf itu berlaku umumdan merata dikalangan orang-orang yang berada dilingkungan adat itu
3.      ‘Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hokum itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang ulama kemudian. Hal ini berarti ‘urf  itu harus telah ada sebelum penetapan hokum. Kalau ‘urf  itu datang kemudian, maka tidak diperhitungkan.
4.      ‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau pertentangan dangan prinsip yang pasti.
Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih; karena kalau adat itu berarti bertentangan dengan nash  yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk ‘adat yang fasid yang telah disepakati oleh ulama untuk menolaknya.
Dari uraian di atas dijelaskan bahwa ‘urf itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hokum. ‘urf atau adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri, adat atau urf menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat yang menjadi sandsarannya baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat.
KREITERIA URF

Kaidah-kaidah ‘Urf

Berkaitan dengan ’Urf, dalam kaidah fiqhiyah disebutkan:
1.      اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ 
      “Adat kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”:
Segala sesuatu yang biasa di kerjakan oleh masyarakat bisa menjadi patokan. Maka setiap anggota masyarakat dalam melakukan sesuatu yang telah terbiasakan itu selalu akan menyesuaikan dengan patokan tersebut atau tegasnya tidak menyalahinya.
2.     التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ كَالتَّعْيِيْنِ بِالنّ
 “Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar  nash”.
Suatu penetapan hukum berdasarkan urf yang  telah  memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan penetapan  hukum yang didasarkan  nash. Kaidah ini banyak berlaku  pada urf-urf khusus, seperti urf yang berlaku diantara para pedagang dan berlaku didaerah  tertentu, dll.
3.      الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”.
Kaidah ini banyak berlaku  pada urf-urf khusus, seperti urf yang berlaku diantara para pedagang dan berlaku didaerah tertentu, dll.
4.        اَيُنْكِرُتَغَيَّرُالاَحْكَامُبِتَغَيَّرِاْلاَزْمَانِ
" Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum akibat berubah masa"
Setiap perubahan masa, menghendaki kemashlahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan  suatu hukum yang di dasarkan pada kemashlahatan. Jadi hukum bias berubah – ubah sesuai dengan perkembangan masa. Hanya saja kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Selain itu masih banyak kaidah-kaidah yang lainnya.
Contoh Penerapan‘urf dalam ekonomi islam
a.       seoarang minta tolong kepada seoarang makelar untuk menjualkan motornya, tanpa menyebutkan upah, jika telah laku, maka orang yang menyuruh menjualkan barangnya memberikan komisi kepada makelar sebesar 2 % dari harga penjualan menurut kebiasaan yang berlaku, kecuali ada perundingan lain.
b.      Pemesanan barang-barang dengan pembayaran dimuka sebagian harganya dan kemudian dibayar harga keseluruhannya bila barang yang dipesan telah tiba, merupakan muamalah yang dijalankan orang sejak dulu sampai sekarang dan besar manfaatnya bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu diperbolehkan.
c.       Penentuan kedewasaan seseorang menurut syari'at diserahkan kepada adat kebiasaan yang berlaku disuatu Negara. Syariat hanya memberikan batasan.

2 komentar: