MAKALAH USHUL FIQH
MENETAPKAN HUKUM DENGAN
‘URF TUJJAR DAN PENERAPANNYA DALAM
EKONOMI ISLAM
PRODI MANAJEMEN PERBAKAN SYARIAH
DISUSUN OLEH :
M. NAUFAL FARASI
M. SYAHIDIN RAIS
RUDIANTO
M. ZEDI ALVI KUMAL
BAB I
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
SUBSTANSI
‘URF
a. Pengertian
‘urf
Kata
‘Urf berasal dari kata ”‘arafa- ya’rifu”
sering diartikan dengan “al-ma’ruf”
dengan arti “sesuatu yang dikenal “. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang
lain”. Kata Ur’f juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “Ma’ruf “ yang
artinya kebajikan (berbuat baik).
Sebagaimana
dalam Qs. Al – A’raf : 199; “Maafkanlah dia
dan suruhlah berbuat ma’ruf”.
Diantara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf . Kedua kata tersebut mutaradif (sinonim). Tetapi bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata ‘adat berasal dari ‘ada-ya’udu (Arab) yang mengandung arti “perulangan”.
Diantara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata ‘adat dan ‘urf . Kedua kata tersebut mutaradif (sinonim). Tetapi bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunaan dan akar katanya, terlihat ada perbedaannya. Kata ‘adat berasal dari ‘ada-ya’udu (Arab) yang mengandung arti “perulangan”.
Karena
itu, sesuatu yang baru dilakukan satu kali, belum dinamakan ‘adat. Tentang
beberapa kali suatu perbuatan harus dilakukan untuk sampai disebut ‘adat, tidak
ada ukurannya dan tidak banyak tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan
tersebut.
Perbedaa antara kedua kata itu, juga
dapat dilihat dari segi kandungan
artinya, yaitu : ‘adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik buruknya
perbuatan tersebut. Adat lebih ke umum dan Ur’f lebih ke khusus.
kata Ur’f selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘adat dapat digunakan untuk sebagian orang disamping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah bisa dilakukan (menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai “’adat orang itu”’, namun tidak dapat dikatakan sebagai “’ Ur’f orang itu”.
kata Ur’f selalu digunakan untuk jamaah atau golongan, sedangkan kata ‘adat dapat digunakan untuk sebagian orang disamping berlaku pula untuk golongan. Apa yang telah bisa dilakukan (menjadi kebiasaan) seseorang, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai “’adat orang itu”’, namun tidak dapat dikatakan sebagai “’ Ur’f orang itu”.
b. Macam-macam
‘Urf
Ditinjau dari segi sifatnya, antara lain
sebagai berikut.
a) ‘Urf
qauli, yaitu ‘urf yang berupa perkataan seperti, “lahmun” (bahasa) artinya daging,termasuk didalamnya segala macam
daging baik binatang darat maupun binatang air (ikan). Tapi, dalam percakapan
sehari-hari hanya berarti daging binatang darat saja tidak termasuk didalamnya
daging binatang air (ikan).
b) ‘Urf
amali, yaitu ‘urf yang berupa perbuatan. Seperti, jual beli dalam masyarakat
tanpa mengucapkan akad jual beli. Padahal dalam hokum syara’ hal itu sangat
dianjurkan. Tapi, karena telah menjadi kebiasaan atau sama-sama faham, maka
syara’ membolehkan.
Ditinjau
dari segi diterima atu tidaknya, antara lain sebagai berikut.
a) ‘Urf
shahih, yaitu ‘urf yang dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’.
Seperti halnya dalam pertunangan sebelum nikah. Hal itu dipandang baik dan
menjadi kebiasaan masyarakat serta tidak bertentangan dengan syara’.
b) ‘Urf
fasid, yaitu ‘urf yang tidak dapat diterima karena ‘Urf ini bertentangan dengan
syara’. Seperti, mengadakan sesajen untuk hal yang dianggap keramat. Hal ini
tidak dapat diterima karena jelas-jelas berlawanan dengan ajaran tauhid.
Ditinjau dari segi ruang lingkupnya,
antara lain sebagai berikut.
a) ‘Urf
aam, yaitu ‘Urf yang berlaku di suatu tempat, masa dan keadaan. Seperti memberi
hadiah kepada orang yang telah memberi jasa kepada kita atau hal lainnya yang
telah melakukan suatu yang bernilai positif.
b) ‘Urf
khash, yaitu ‘urf yang berlaku di suatu tempat, masa dan keadaan tertentu.
Seperti mengadakan halal bi halal yang biasanya dilakukan setelah melaksanakan
ibadah puasa pada bulan Ramadhan.
B.
KEDUDUKAN ‘URF
SEBAGAI DALIL SYARA’
Pada dasarnya, semua ‘ulama menyepakati kedudukan
al-‘urf ash-shahihah sebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, diantara
mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai
dalil. Dalam hal ini, ulama hanafiyah dan malikiyah adalah yang paling banyak
menggunakan al-‘urf sebagai dalil, di bandingkan dengan ulama syafi’iyah dan
hanabilah.
Para ulama juga sepakat menyatakan bahwa ketika
ayat-ayat al-qur’an diturunkan, banyak sekali ayat-ayat yang mengukuhkan
kebiasaan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Para ulama’ ushul fiqih sepakat
bahwa ‘urf al-shakhih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik
yang menyangkut ‘urf al-‘am dan ‘urf al-khas, maupun yang berkaitan dengan ‘urf
al-lafdzi dan ‘urf ‘amali, dapat di jadikan hujjah dalam manetapkan hukum
syara’.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’,
didasarkan atas argumen-argumen berikut ini.
a. Firman Allah SWT pada Qs. Al-‘Araf
(7) : 199
خذالعفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
“ jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh”.
Malalui ayat diatas Allah memerintahkan kaum muslimin
untuk mengerjakan yang ma’ruf . sedangkan yang di sebut ma’ruf itu sendiri
ialah, yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan
berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak manusia yang benar, dan
yang di bimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran islam.
b. Ucapan sahabat
Rasulullah , abdullah bin mas’ud
فماراه المسلمون حسنا فهو عند الله وماراه المسلمون سيئا
فهو عند الله شيئ
“Sesuatu
yang di nilai baik oleh kaum muslumin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu
yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi
redaksi maupun maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku
di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntutan umum syari’at islam,
adalah juga merupakan sesuatu yamg baik di sisi Allah. Sebaiknya, hal-hal yang
bertentangan dengan kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan
melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, dalam
pada itu, Allah berfirman pada surat al-ma’idah:6
ما يريد الله ليجعل عليكم من حرج ولكن يريد ليطهركم
وليتم نعمته ، عليكم لعلكم تشكرون .
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur”.
Pada
dasarnya, syari’at islam dari masa awal banyak menampung dan mengaku adat atau
tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak bertentangan dengan
Al-qur’an dan sunnah rosulullah. Kedatangan islam bukan menghapuskan sama
sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat.
Tetapi
secara secara selektif ada yang di akui dan dilestarikan serta ada pula yang
dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang di akui, kerja sama dagang dengan cara
berbagi untung ( al- mudhorobah). Praktik seperti ini sudah berkembang di
kalangan bangsa arab sebelum islam, dan kemudian diakui oleh islam sehingga
menjadi hukum islam.
C.
URGENSI ‘URF
DALAM MEMAHAMI KITAB TURATS
Kitab
turats atau bias disebut dengan kitab kuning merupakan sebuah hasil karya tulis
para ulama terdahulu yang dicetak berbentuk buku yang menggunakan kertas
berwarna kuning. Memang kitab kuning ini sangat menarik untuk dikaji dalam
menggali ilmu agama Islam dan pemikiran para ulama terdahulu. Namun tidak semua
orang bisa membaca dan memahami isinya, karena banyak disiplin ilmu yang harus
dimiliki dalam memahaminya.
Kontekstualisasi
kitab kuning (fiqh) ialah memposisikan kitab kuning dalam situasi dan kondisi
serta sosial budaya yang ada pada saat ini. Konsep ini tetap meletakkan
teks-teks kitab kuning sebagai suatu kebenaran yang berlaku dalam segala ruang
dan waktu. Kontekstualisasi menurut pengertian di atas adalah menyesuaikan
teks-teks kitab kuning dalam konteks yang berbeda dengan tetap mempertahankan
konsep dasarnya.
Kajian
kontekstual terhadap kitab kuning telah dinilai sebagai suatu metode pemahaman
yang tepat untuk mengetahui pesan-pesan substantif isi kitab tersebut
sesuai dengan tujuan mualifnya. Kitab kuning, yang umumnya merupakan penjabaran
dan pemahaman dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Adapun
urgensinya antara lain sebagai berikut.
- Suatu proses pemahaman kitab kuning yang mengacu kepada kenyataan syakhshiyyah maupun ijtima’iyyah yang melatarbelakangi kehadirannya.
- Upaya memahami kitab kuning yang tidak terbatas pada makna-makna harfiyah, tetapi mampu menyentuh natijah-natijah pemikiran yang menjadi jiwanya.
- Proses belajar dan mengajar kitab kuning yang mengacu kepada kegunaan praktis dalam kehidupan masyarakat.
D.
SUBTANSI
‘URF DAN ‘URF TUJJAR
E.
KEDUDUKAN
DAN LEGALITAS ‘URF DALAM IJTIHAD
a. Kedudukan ‘urf dalam ijtihad
urf yang shahih dapat dijadikan
dasar pertimbangan bagi para mujtahid atau para hakim dalam menentukan
hukum,dengan alasan bahwa syari’at islam dalam mengadakan hukum juga
memperhatikan adat kebiasaan (‘urf) yang berlaku pada masyarakat arab. Ulama
malikiyah banyak menetapkan hukum yang berdasrkan kepada perbuatan penduduk
madinah,dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’,sedangkan imam
syafi’i yang terkenal dengan qaul adin dan qaul jadidnya,itu timbul karena
pengalaman imam syafi’i ketika di bagdad yang berbeda dengan adat yang ada
dimesir.
Sebaliknya ‘urf yang fasid tidak
bisa diterima karena bertentangan dengan nash,seperti kebiasaan orang mekah
jika bertawaf tidak berpakaian,atau mengawini ibu sendiri/ibu tiri yang
suaminya telah meninggal.
Menurut jumhur ulama mereka
mengatakan:
المعروف عرفاكالمشروط شرطاوالثّابت بالعرف كالثّابت بالنّصّ
“apa yang terkenal sebagai ‘urf sama
dengan yang ditetapkan sebagai syarat,dan sesuatu yang tetap karena urf sama
dengan yang tetap karena nash”.
Dalam
literature yang membahas kehujahan urf atau adat dalam istinbath hokum, hamper
selalu yang dibicarakan adalah urf atau adat secara umum. Namun di atas telah
dijelaskan bahwa urf yang sudah diterima dan diambil oleh ahli syara’ atau yang
secara tegas telah ditolak oleh syara’. Dengan demikian, pembicaraan tentang
kehujahan ‘urf ini sedapat mungkin dibatasi pada bentuk ‘urf yang keempat, baik
yang termasuk pada ‘urf yang umum dan yang tetap (yang tidak mungkin mengalami
perubahan).
Secara
umum ‘urf atau adat itu diamalkan oleh seluruh ulama’ fiqh terutama di kalangan
ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Ulama
Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan
itu adalah istihsan al-‘urf (istihsan yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama
Hanafiyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nahs
yang umum
Ulama
Malikiyah menjadikan ‘urf atau tradisi yang hidup dikalangan ahli Madinah
sebagai dasar menetapkan hokum dan mendahulukannya dari yang hadis ahad.
Dalam
menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam fiqh, al-suyuthi mengulasnya dengan
mengembalikan kepada kaidanya :
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan
sebagai hukum."
Alasan
para ulama mengenai pengunaan (peneriman) mereka terhadap ‘urf adalah hadis
yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan Imam Ahmad dalam
musnadnya
“Apa-apa yang dilihat oleh umat
islam sebagai suatu yang baik, makayang demikian di sisi Allah adalah baik.”
Disamping
itu adalahpertimbangan kemasslahatan, bahkan banyak orangyang mengalami kesuliatan
bila tidak menggunakan ‘urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai
“syarat yang disyaratkan”.
“sesuatu yang berlaku secara ‘urf
adalah seperti sesuatu yang telah disyaratkan”
Bila
hokum telah di tetapkan berdasar kepada ‘urf,
maka ketentuanya menyamai hokum yang ditetapkan berdasarkan nash.
Para
ulama mengamalkan ‘urf itu dalam
memahami dan meng-istinbath-kan hokum, menetapkan beberapa persyaratan untuk
menerima ‘urf tersebut, yaitu:
1.
Adat atau ‘urf itu bernilai maslahat dan
dapat diterima akal sehat. Syarat ini telah merupakan kezhaliman bagi adat atau
‘urf yang sahih, sebagai diterima secara umum.
2.
Adat atau ‘urf itu berlaku umumdan
merata dikalangan orang-orang yang berada dilingkungan adat itu
3.
‘Urf yang dijadikan sandaran dalam
penetapan hokum itu telah ada (berlaku) pada saat itu; bukan ‘urf yang ulama kemudian. Hal ini
berarti ‘urf itu harus telah ada sebelum penetapan hokum.
Kalau ‘urf itu datang kemudian, maka tidak
diperhitungkan.
4.
‘Adat tidak bertentangan dan melalaikan
dalil syara’ yang ada atau
pertentangan dangan prinsip yang pasti.
Sebenarnya
persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan adat sahih; karena kalau adat
itu berarti bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan prinsip syara’ yang pasti, maka ia termasuk
‘adat yang fasid yang telah disepakati oleh ulama untuk menolaknya.
Dari
uraian di atas dijelaskan bahwa ‘urf itu digunakan sebagai landasan dalam
menetapkan hokum. ‘urf atau adat itu bukanlah dalil yang berdiri sendiri, adat
atau urf menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau ada tempat yang menjadi
sandsarannya baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat.
KREITERIA URF
Kaidah-kaidah ‘Urf
Berkaitan dengan ’Urf, dalam kaidah fiqhiyah
disebutkan:
1. اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat
kebiasaan dapat dijadikan dasar (pertimbangan) hukum”:
Segala sesuatu yang biasa di kerjakan oleh
masyarakat bisa menjadi patokan. Maka setiap anggota masyarakat dalam melakukan
sesuatu yang telah terbiasakan itu selalu akan menyesuaikan dengan patokan
tersebut atau tegasnya tidak menyalahinya.
2. التَّعْيِيْنُ باِلْعُرْفِ
كَالتَّعْيِيْنِ بِالنّ
“Menetapkan
(suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan (hukum) dengan dasar nash”.
Suatu penetapan hukum berdasarkan urf yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagai dasar hukum, sama kedudukannya dengan
penetapan hukum yang didasarkan nash. Kaidah ini banyak berlaku pada urf-urf khusus, seperti urf yang berlaku
diantara para pedagang dan berlaku didaerah
tertentu, dll.
3. الْمَعْرُوْفُ بَيْنَ
تُجَّارِ كَالْمَشْرُوْطِ بَيْنَهُمْ
“Sesuatu yang sudah terkenal (menjadi tradisi) di
kalangan pedagang, seperti syarat yang berlaku diantara mereka”.
Kaidah ini banyak berlaku pada urf-urf khusus, seperti urf yang berlaku
diantara para pedagang dan berlaku didaerah tertentu, dll.
4. اَيُنْكِرُتَغَيَّرُالاَحْكَامُبِتَغَيَّرِاْلاَزْمَانِ
" Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum
akibat berubah masa"
Setiap perubahan masa, menghendaki kemashlahatan
yang sesuai dengan keadaan masa itu. Hal ini mempunyai pengaruh besar terhadap
pertumbuhan suatu hukum yang di dasarkan
pada kemashlahatan. Jadi hukum bias berubah – ubah sesuai dengan perkembangan
masa. Hanya saja kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah.
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat
dikembangkan dan diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan.
Selain itu masih banyak kaidah-kaidah yang lainnya.
Contoh Penerapan‘urf dalam ekonomi islam
a.
seoarang minta tolong kepada seoarang makelar untuk menjualkan motornya,
tanpa menyebutkan upah, jika telah laku, maka orang yang menyuruh menjualkan
barangnya memberikan komisi kepada makelar sebesar 2 % dari harga penjualan
menurut kebiasaan yang berlaku, kecuali ada perundingan lain.
b.
Pemesanan barang-barang dengan pembayaran dimuka sebagian harganya dan
kemudian dibayar harga keseluruhannya bila barang yang dipesan telah tiba,
merupakan muamalah yang dijalankan orang sejak dulu sampai sekarang dan besar
manfaatnya bagi kedua belah pihak. Oleh karena itu diperbolehkan.
c.
Penentuan kedewasaan seseorang menurut syari'at diserahkan kepada adat
kebiasaan yang berlaku disuatu Negara. Syariat hanya memberikan batasan.
urf tujjar itu apa?
BalasHapusKebiasaan pebisnis atau yg berkaitan dengan keuangan
Hapus