Minggu, 05 Februari 2017

Kisah ayah imam syafi'i

Alkisah ada seorang pemuda yang pergi menuntut ilmu. Di tengah perjalanan dia haus dan singgah sebentar di sungai yang airnya jernih. Saat meminum airnya. terlihat sebuah apel yang terbawa arus sungai, dia pun mengambilnya dan segera memakannya. Setelah tergigit apel itu, tersadar dirinya dan  berkata “Astagfirullah”.

Dirinya diliputi rasa bersalah karena telah memakan apel yang bukan miliknya. Dia bergumam:  “Apel ini pasti punya pemiliknya, lancang sekali aku sudah memakannya. Aku harus menemui pemiliknya dan menebus apel ini”. Akhirnya dia menunda perjalanannya menuntut ilmu dan pergi menemui sang pemilik apel dengan menyusuri bantaran sungai. Tak lama kemudian dia sudah pada kebun apel yang tumbuh dengan lebat dan diyakini disitulah pemilik apel berada.

“Assalamualaikum….”ucap pemuda .”Waalaikumsalam wr.wb.”. Jawab seorang lelaki tua dari dalam rumahnya. Pemuda itu dipersilahkan duduk dan dia pun langsung menyampaikan maksud dirinya menemui orang tua itu atas kelancangan memakan buah apale yang bukan miliknya.

“Berapa harus kutebus harga apel ini agar kau ridha apel ini aku makan pak tua”. tanya pemuda itu. Lalu pak tua itu menjawab. “Tak usah kau bayar apel itu, tapi kau harus bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa dibayar, apakah kau mau?”

Pemuda itu tampak berfikir, kaget karena untuk segigit apel saja dia harus membayar dengan bekerja di rumah bapak itu selama tiga tahun tanpa digaji, tapi hanya itu satu-satunya pilihan yang harus diambilnya agar bapak itu ridha apelnya ia makan.”Baiklah pak, saya mau.”

Alhasil pemuda itu bekerja di kebun sang pemilik apel tanpa dibayar. Hari berganti hari, minggu, bulan dan tahun pun berlalu. Tak terasa sudah tiga tahun dia bekerja dikebun itu. Dan hari terakhir dia ingin pamit kepada pemilik kebun.

“Pak tua, sekarang waktuku bekerja di tempatmu sudah berakhir, apakah sekarang kau ridha atas apel yang sudah aku makan?”.Pak tua itu diam sejenak. “Belum.” Pemuda itu terhenyak. “Kenapa pak tua, bukankah aku sudah bekerja selama tiga tahun di kebunmu.””Ya, tapi aku tetap tidak ridha jika kau belum melakukan satu permintaanku lagi.””Apa itu pak tua?”.”Kau harus menikahi putriku, apakah kau mau?”

“Ya, aku mau.” jawab pemuda itu.  Bapak tua itu mengatakan lebih lanjut. “Tapi, putriku buta, tuli, bisu dan lumpuh, apakah kau mau?”. Pemuda itu tampak berfikir, bagaimana kalau dia harus menikah dengan gadis yang tidak dikenalnya dan gadis itu cacat, buta, tuli, dan lumpuh.

Bagaimana dia bisa berkomunikasi nantinya? Tapi diapun ingat kembali dengan segigit apel yang telah dimakannya. Dan dia pun menyetujui untuk menikah dengan anak pemilik kebun apel itu untuk mencari ridha atas apel yang sudah dimakannya.

“Baiklah pak, aku mau.”.Segera pernikahan pun dilaksanakan. Setelah ijab kabul sang pemuda itupun masuk kamar pengantin. Dia mengucapkan salam dan betapa kagetnya ketika dia mendengar salamnya dibalas dari dalam kamarnya. Seketika itupun dia berlari mencari sang bapak pemilik apel yang sudah menjadi mertuanya.

“Ayahanda…siapakah wanita yang ada didalam kamar pengantinku? Kenapa aku tidak menemukan istriku?”.Pak tua itu tersenyum dan menjawab. “Masuklah nak, itu kamarmu dan yang di dalam sana adalah istrimu.”Pemuda itu tampak bingung. “Tapi ayahanda, bukankah istriku buta, tuli tapi kenapa dia bisa mendengar salamku?.Bukankah dia bisu tapi kenapa dia bisa menjawab salamku?”

Pak tua itu tersenyum lagi dan menjelaskan. “Ya, memang dia buta, buta dari segala hal yang dilarang Allah. Dia tuli, tuli dari hal-hal yang tidak pantas didengarnya dan dilarang Allah. Dia memang bisu, bisu dari hal yang sifatnya sia-sia dan dilarang Allah, dan dia lumpuh, karena tidak bisa berjalan ke tempat-tempat yang maksiat.”

Pemuda itu hanya terdiam dan mengucap lirih: “Subhanallah…..”.Dan merekapun hidup berbahagia dengan cinta dari Allah.

Dari pasangan suami-istri yang terjaga dari dosa dan maksiat, haram dan kemungkaran ini, kemudian lahir seorang anak shaleh teladan, yang bahkan dalam umur enam tahun telah hafal Al-Quran. Dialah Muhammad bin Idris Assyafi’i yang tak lain adalah Imam Syafi’i. Itulah buah kesabaran dari ayah seorang ulama besar sepanjang masa ini. Sang ayah begitu sabar dalam menahan dan menghindari makanan yang haram, ibu yang selalu menjaga kesuciannya.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar